Bismillah.
Adalah suatu hal yang gamblang bagi kaum beriman, bahwa tujuan hidup setiap insan adalah mewujudkan penghambaan kepada Allah Rabb seru sekalian alam. Penghambaan kepada Allah tegak di atas dua pilar, yaitu puncak perendahan diri dan puncak kecintaan.
Orang yang merendahkan diri kepada Allah dan mencintai-Nya akan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Dia akan melakukan apa-apa yang Allah cintai dan meninggalkan apa-apa yang Allah benci. Oleh sebab itu ibadah meliputi segala hal yang membuat Allah ridha, berupa keyakinan, perkataan, dan amal perbuatan dengan anggota badan. Inilah hakikat keimanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah termasuk cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pokok-pokok keimanan adalah amalan-amalan hati, karena tidaklah bermanfaat amalan lahiriah tanpa dilandasi keyakinan dan keikhlasan dari dalam hati. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh malaikat Jibril yang datang dalam bentuk manusia lalu menanyakan tentang iman, beliau menjawab bahwa iman itu adalah, “Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)
Para ulama salaf menegaskan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amalan. Ucapan hati dan ucapan lisan serta amalan hati dan amal anggota badan. Iman bertambah dengan amal salih dan ketaatan serta berkurang akibat maksiat dan kedurhakaan. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah takutlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan kepada Rabbnya mereka bertawakal.” (al-Anfal : 2)
Iman itu sendiri adalah amal dengan makna yang luas. Oleh sebab itu ketika ditanya oleh sebagian sahabatnya mengenai amal apakah yang paling utama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari). Sebagaimana amal anggota badan adalah bagian dari iman secara syar’i. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menyebut sholat dengan iman. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (al-Baqarah : 143). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘iman’ dalam ayat ini adalah sholat yang dilakukan oleh kaum muslimin sebelum perpindahan kiblat. Maksudnya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal sholat mereka.
Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa istilah iman dan islam apabila bertemu memiliki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup amalan batin sementara islam mencakup amalan lahir. Namun apabila islam dan iman terpisah -tidak disebutkan dalam satu konteks pembahasan- maka islam sudah mencakup iman, begitu pula iman telah mencakup islam. Misalnya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam.” (Ali ‘Imran : 19). Istilah islam di sini sudah mencakup amalan batin maupun amalan lahir. Artinya orang yang diterima keislamannya adalah orang yang beriman secara lahir dan batin, bukan kafir dan bukan munafik.
Dengan demikian ayat yang sering kita dengar ketika khutbah Jum’at (yang artinya), “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali ‘Imran : 102) mengandung perintah untuk beriman secara lahir dan batin. Karena syarat untuk masuk surga adalah beriman secara lahir dan batin. Oleh sebab itu Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah ‘janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan beriman’ (lihat tafsir al-Baghawi yang berjudul Ma’alim at-Tanzil, hal. 229)
Iman juga tidak cukup hanya dengan amalan hati. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Oleh sebab itu orang yang benar-benar beriman adalah yang mengucapkan keimanan dengan lisan (bersyahadat), menyakininya di dalam hati, dan beramal dengan anggota badan. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran hati tanpa melakukan amalan maka dia bukanlah pemilik keimanan yang benar (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 145)
Iman itu sendiri tidak akan terwujud dan sempurna kecuali dengan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu hijrah kepada Allah dan rasul-Nya menjadi kewajiban bagi setiap individu di sepanjang waktu. Yang dimaksud di sini adalah hijrahnya hati seorang hamba menuju Allah dan rasul-Nya. Inilah hijrah yang sebenarnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hijrah ini mencakup hijrah dengan hati dari kecintaan kepada sesembahan selain Allah menuju kecintaan kepada Allah, hijrah dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah, hijrah dari takut, harap, dan tawakal kepada selain Allah menuju takut, harap, dan tawakal kepada Allah, hijrah dari berdoa dan tunduk kepada selain Allah menuju doa dan tunduk kepada Allah. Inilah yang disebut dengan al-firar ila Allah (berlari menuju Allah) sebagaimana diperintahkan dalam ayat (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah.” (adz-Dzariyat : 50) (lihat ar-Risalah at-Tabukiyah, hal. 16 cet. Dar ‘Alam al-Fawa’id)
Hijrah menuju Allah mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah dan mewujudkan segala perkara yang dicintai dan diridhai oleh-Nya. Sumber dari hijrah ini adalah rasa cinta dan benci. Dimana orang yang berhijrah meninggalkan apa-apa yang dibenci oleh Allah menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah. Sehingga dia lebih mencintai apa yang menjadi tujuan hijrahnya daripada asal dia berhijrah. Dalam menempuh hijrah ini setiap hamba harus berhadapan dengan tiga musuh; dirinya sendiri, hawa nafsu, dan setan. Dan untuk bisa berhasil setiap insan harus berjuang menaklukkan musuh-musuhnya itu di sepanjang waktu. Oleh sebab itu setiap orang wajib berhijrah kepada Allah di sepanjang waktu. Dia tidak akan terlepas dari segala bentuk hijrah ini sampai kematian datang (lihat ar-Risalah at-Tabukiyah, hal. 20)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dengan demikian seorang yang hendak meniti jalan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya tidak bisa tidak harus belajar ilmu agama. Dengan memahami agama Islam inilah dia akan bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan keburukan, antara iman dan kekafiran, antara tauhid dan kesyirikan, antara sunnah dan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)